Menanti Kepemimpinan Indonesia dalam Isu Perubahan Iklim di ASEAN
Keprihatinan mendalam disampaikan saat Pembukaan workshop dalam konferensi sela perubahan iklim di Bangkok terhadap bencana banjir di Thailand. Di Indonesia hampir tiap bulan mendengar berita banjir yang diakibatkan curah hujan tinggi, perubahan fungsi lahan, atau naiknya permukaan ar laut di kota pantai. Begitu pula topan siklon yang berulangkali menerpa kawasan Filipina, atau yang terbaru banjir di Singapura beberapa waktu lalu yang baru kali ini terjadi. Hal ini menegaskan bahwa regional ASEAN sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Berdasar laporan AFAB, telah terjadi peningkatan temperatur rata-rata sebesar 0.1-0.3 derajat C setiap dekade yang diukur dari 1950-2000, begitu pula permukaan air laut yang terekam sebesar 1-3 mm setiap tahun.
Isu perubahan iklim ini bukanlah isu elit, karena masyarakat langsung mengalami dampaknya. Seperti kita ketahui sebagian besar dari 563 juta orang di negara-negara ASEAN terkonsentrasi di kawasan pantai sepanjang 173,251 juta km, yang akan berhadapan langsung dengan naiknya permukaan laut, -diprediksi sekitar 70 cm sampai tahun 2100 berdasar laporan ADB-. Mata pencaharian sebagian besar populasi yang bergantung terhadap pertanian akan sangat terpengaruh dengan kenaikan temperatur sekitar 4-8 derajat celsius pada periode sama. Produksi beras di Indonesia, Thailand, Vietnam akan menurun hingga 50% sampai tahun 2100. Sungguh mengerikan, krisis iklim akan menular ke krisis pangan, juga krisis kesehatan. Bukankah ini bencana yang dapat menyebabkan kemusnahan.
“We therefore call the ASEAN governments individually and collectively to ramp up its resolve with a shared vision to contribute effectively to global efforts to tackle climate change at the UNFCCC platform and beyond. ASEAN as a region can certainly be a model of success for others in the international community…” (ASEAN Youth Climate Statement at COP 16)
Lalu apakah dalam konteks Perubahan Iklim ASEAN dapat berperan, atau hanya masing-masing negara membawa agenda masing-masing seperti sekarang ini? Dengan beberapa kesamaan tadi seharusnya ada posisi serta kepentingan yang bisa diperjuangkan bersama. Selayaknya Uni Eropa (EU) yang telah mewakili perwakilan resmi di UNFCCC. Indonesia harus bisa memanfaatkan posisinya sebagai ketua ASEAN tahun ini untuk lebih berperan di percaturan global. Hal ini dimungkinkan karena sejak 2007 sudah dirintis ASEAN Climate Change Initiative (ACCI), yang sejak itu menjadi working group (WG). Kepentingan bersama ini harus diartikulasikan tidak hanya pada tataran normatif “mendesak adanya pengganti protokol Kyoto”, tapi harus lebih jelas merangkum aspek adaptasi, mitigasi, teknologi, serta pembiayaan.
Memang untuk menuju arah ini dibutuhkan hubungan proaktif serta resiprokal dari 10 negara anggota. Kepemimpinan di sini bukan berarti menentukan semuanya, tapi lebih ke mengajak, merumuskan peta jalan menuju konsensus bersama, serta mengusulkan draft versi Indonesia. Dalam posisi ini sudah seharusnya Indonesia sebagai negara terbesar di regional berperan lebih banyak.




About the author
Goris MustaqimGoris Mustaqim, atau biasa dipanggil Goris adalah seorang wirausahawan dan wirausahawan sosial dari Indonesia. Dia sekarang sedang berada di Bangkok bergabung dengan anak muda lain untuk menjadi negosiator serta menyebarkan hasil dari KTT perubahan iklim ini ke jutaan anak muda lain.