My latest article on climate change negotiation process (in Bahasa Indonesia)
Konstelasi Perundingan Perubahan Iklim
Konferensi Perubahan Iklim memasuki babak baru setelah pertemuan COP 16 di Cancun Mexico, Desember 2010 kemarin. Kekecewaan terhadap negosiasi di COP 15 di Kopenhagen, sedikit terobati dengan adanya itikad baik yang muncul di Cancun, dengan ratifikasi di salah satu artikel, serta keinginan duduk kembali dalam meja perundingan dari para delegasi negara berpengaruh. Harus diakui perundingan berjalan lambat, sementara dampak dari perubahan iklim sudah sangat terasa oleh semua manusia. Sejak dimulai di Rio pada 1992, kemudian menghasilkan Protokol Kyoto (PK) yang merupakan satu-satunya kesepakatan ‘mengikat’, banyak pihak gusar dengan belum adanya kesepakatan mengikat yang akan menggantikan PK yang akan berakhir pada 2012.
Pertemuan sela (Intersessional) digelar di Bangkok secara rutin setiap bulan April sedikit banyak memperlihatkan bagaimana prospek perundingan serta apa potensi hasil yang keluar dari perundingan, -minimal tahun ini-, di Durban, Afrika Selatan akhir 2011. Banjir yang melanda beberapa provinsi di Thailand di tengah Bangkok Climate Talks tersebut seakan menjadi pertanda, alam tidak akan menunggu lebih lama menuju kehancuran. Pertanyaan klise selalu muncul apakah akan ada hasil dari setiap pertemuan sementara bencana perubahan iklim terus mengintai? Tentunya tidak ada satupun pihak yang tidak sepakat bahwa upaya penyelamatan perlu segera dilakukan. Masing-masing negara pun telah memiliki target serta roadmap untuk menurunkan emisi karbon masing-masing, tapi apakah itu cukup? Kita terus berburu dengan waktu.
Perubahan iklim merupakan gejala global, bukan lokal, oleh karena itu memerlukan tindakan global (Global Action) pula. Yang kita butuhkan adalah kebijakan bersama yang mampu mengontrol kenaikan temperatur bumi di bawah 2 derajat celcius, karena jika itu terjadi akan menyebabkan kenaikan permukaan air laut yang membahayakan kehidupan manusia. Bahaya ini akan lebih terasa bagi kita di Indonesia, -dan negara kepulauan lainnya-, sebagaimana laporan yang dirilis oleh Badan PBB untuk perumahan (UN-HABITAT) beberapa waktu lalu. Berdasar laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), telah terjadi peningkatan temperatur rata-rata sebesar 0.1-0.3 derajat C setiap dekade yang diukur dari 1950-2000, begitu pula permukaan air laut yang terekam sebesar 1-3 mm setiap tahun.
Isu perubahan iklim ini bukanlah isu elit, karena masyarakat langsung mengalami dampaknya. Seperti kita ketahui sebagian penduduk Indonesia terkonsentrasi di kawasan pantai, yang akan berhadapan langsung dengan naiknya permukaan laut, -diprediksi sekitar 70 cm sampai tahun 2100 berdasar laporan IPCC-. Mata pencaharian sebagian besar populasi yang bergantung terhadap pertanian akan sangat terpengaruh dengan kenaikan temperatur sekitar 4-8 derajat celsius pada periode sama. Produksi beras pun akan menurun hingga 50% sampai tahun 2100. Sungguh mengerikan, krisis iklim akan menular ke krisis pangan, juga krisis kesehatan. Bukankah ini bencana yang dapat menyebabkan kemusnahan.
Tidak banyak yang dihasilkan dari pertemuan Bangkok kemarin. Ad Hoc Working Group for Long Cooperative Action (AWG-LCA) menyepakati roadmap yang akan ditempuh untuk membahas berbagai isu seperti Adaptasi, Mitigasi, Teknologi sampai Durban 2011. Yang alot adalah pembahasan di AWG untuk Kyoto Protocol (AWG-KP), di mana masih terjadi perbedaan tajam antara dua blok parties. Negara-negara maju menolak menandatangani periode 2 KP, sementara G77&Cina mendesak adanya komitmen untuk memperpanjang satu-satunya kesepakatan mengikat ini (legally binding). Dua AWG ini merupakan mandat dari Bali Roadmap tahun 2007 lalu.
Selain itu beberapa hal yang patut kita cermati dalam konstelasi negosiasi perubahan iklim tahun ini di antaranya adalah pembentukan Transitional Committee (TC) yang akan merumuskan konsep pendanaan untuk upaya mengatasi dampak perubahan iklim (Green Climate Fund). Dalam pembicaraan seputar delegasi RI di Bangkok, Indonesia akan mengusulkan wakilnya di salah satu dari 7 board director TC. Seperti disepakati di Copenhagen pada 2009, negara-negara maju akan mengalokasikan pendanaan mencapai US$100 billion sampai tahun 2020. Dana ini akan dipakai untuk upaya-upaya mitigasi, adaptasi, teknologi hijau, termasuk yang sangat spesifik untuk negara kehutanan seperti Indonesia, yaitu Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD). Pada poin ini Delegasi RI sepakat dengan suara masyarakat sipil Indonesia bahwa Indonesia tidak menginginkan pola-pola climate finance ini dalam bentuk hutang, tetapi lebih menawarkan pola Investasi. Yang perlu digarisbawahi dari sistem ini dan kita awasi bersama adalah bagaimana supaya semua program pendanaan ini harus sampai pada masyarakat yang paling rentan terhadap akibat perubahan iklim, tidak dibelokkan oleh kepentingan pemodal besar. Transparency International (TI) telah mengingatkan dalam laporannya kemungkinan dana masif tersebut menjadi sumber korupsi baru.
Hal lain adalah peluang yang besar bagi stakeholder energi dunia dari laporan yang dirilis IPCC baru-baru ini, bahwa 80% kebutuhan energi dunia pada 2050 dapat dihasilkan dari renewable energy (RE), jika didukung oleh kebijakan pemerintah yang tepat serta kerjasama dunia. Sekitar 120 peneliti memaparkan statistik, trend, serta peta jalan bagaimana kontribusi masing-masing sektor RE seperti energi matahari (solar), angin, air, geotermal, serta biomassa. Tak ada salahnya bagi kita untuk menjadikan roadmap ini sebagai benchmarking dari Kebijakan Energi Nasional (KEN). Lebih penting lagi dari sekedar roadmap adalah bagaimana upaya untuk meningkatkan implementasi dari berbagai sumber energi terbarukan tadi di Indonesia dan memangkas berbagai hambatan klasik. Kita telah melihat ternyata sangat sulit mengimplementasikan hasil-hasil dari perundingan tersebut ke upaya nyata di lapangan. Dalam kasus REDD, walau sudah ditandatangani kerjasama antara Pemerintah Norwegia dan Indonesia tapi tidak mudah untuk menjalankannya, yang berpangkal pada perbedaan kebijakan antara Pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah.
Lalu kembali ke pertanyaan awal, apakah itu semua cukup untuk mengatasi perubahan iklim? Saya meyakini itu semua tidak akan pernah cukup. Tidak akan pernah cukup kalau perundingan hanya sebatas di atas kertas, tidak akan cukup pula apabila isu perubahan iklim hanya menjadi konsumsi elite. Hal yang sangat harus segera dilakukan adalah merubah pola hidup menjadi pola yang ramah lingkungan. Pada pendidikan dan teladanlah kita berharap generasi baru yang menganut prinsip sustainable development. Tindakan-tindakan kecil yang dijalankan secara berkelanjutan oleh jutaan atau milyaran orang akan lebih berarti. Begitu pula peran sektor swasta yang sangat vital. Tak ada gunanya skeptis berpikir bahwa apapun yang dilakukan, hal itu sudah terlambat. Lebih baik tetap berharap dengan melakukan tindakan nyata. Karena tanpa harapan tidak ada kehidupan. Karena global warming membutuhkan global action, ya tindakan anda semua, tindakan kita.




-
http://www.joshuawiese.com Joshua Wiese
About the author
Goris MustaqimGoris Mustaqim, atau biasa dipanggil Goris adalah seorang wirausahawan dan wirausahawan sosial dari Indonesia. Dia sekarang sedang berada di Bangkok bergabung dengan anak muda lain untuk menjadi negosiator serta menyebarkan hasil dari KTT perubahan iklim ini ke jutaan anak muda lain.